Kebijakan sentralisasi maupun desentralisasi guru memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun di kebanyakan daerah, sentralisasi guru menjadi kebutuhan, untuk mencapai pemerataan distribusi guru, terutama di daerah. Demikian yang terungkap saat jumpa pers yang dihadiri Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Suyanto pada hari terakhir Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2012, di Bojongsari, Depok, Selasa (28/02) siang.
Suyanto didampingi Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Papua James Modouw, Sekretaris Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Nusa Tenggara Timur Yohannes Mau, serta Kepala Bidang Program Perencanaan dan Standarisasi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Bambang Irianto.
James mengatakan, di Papua masih terdapat kekurangan jumlah guru, sehingga membutuhkan campur tangan pemerintah pusat untuk mencapai pemerataan, salah satunya melalui sentralisasi. "Tapi kalau guru ditarik ke pusat, kebutuhan-kebutuhan daerah secara lokal ini tidak bisa dipenuhi juga," ujarnya.
James menjelaskan, Papua memiliki guru-guru khusus yang diperuntukkan mengajar di daerah-daerah terpencil, dengan spesialisasi khusus dan tujuan khusus pula, sesuai kebutuhan lokal tiap daerah.
Adapun Yohannes Mau, mengatakan, perlu dilakukan diskusi yang mendalam mengenai rencana penarikan guru yang menjadi kewenangan pusat. "Karena kami akan berhadapan dengan berbagai persoalan," katanya. Salah satunya adalah anggaran. Mutasi guru akan menyebabkan terjadinya perubahan anggaran.
Selain itu juga, teknis di lapangan juga harus dipertimbangkan. "Misalnya, bagaimana guru pindah. Kalau antarprovinsi no problem, tapi bagaimana pindah guru dari satu kabupaten yang berdekatan. Ini perlu dibicarakan mekanisme terbaik, sehingga pada saat pelaksanaan tidak berbenturan dengan persoalan di lapangan," tutur Yohannes.
Ia menuturkan, di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), kekurangan guru justru menjadi persoalan utama. Karena itu dibutuhkan diskusi bersama untuk menemukan solusi yang tepat dalam memenuhi kebutuhan guru. "Karena persoalannya sangat kasuistis di beberapa daerah tertentu sehingga perlu didiskusikan lebih matang, perlu dikaji".
Hal senada juga dikatakan Bambang Irianto. Di Yogyakarta pun belum tercapai pemerataan distribusi guru. Ada beberapa kabupaten yang kurang guru, namun di beberapa kabupaten lain berlebihan. "Sehingga kalau dikelola pusat atau minimal provinsi, lebih mudah untuk mengatur itu," katanya.
Namun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak semudah itu mengubah kebijakan dari desentralisasi menjadi sentralisasi. Semua membutuhkan proses dan kajian yang lebih mendalam. Untuk sementara, salah satu solusi yang sudah dilakukan adalah penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) lima menteri yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokras, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama.
SKB tersebut mengatur tentang distribusi guru. Jika terdapat kelebihan atau kekurangan guru di tingkat provinsi, maka gubernur punya kewenangan untuk mendistribusikan guru antarkabupaten.
Suyanto didampingi Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Papua James Modouw, Sekretaris Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Nusa Tenggara Timur Yohannes Mau, serta Kepala Bidang Program Perencanaan dan Standarisasi Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Bambang Irianto.
James mengatakan, di Papua masih terdapat kekurangan jumlah guru, sehingga membutuhkan campur tangan pemerintah pusat untuk mencapai pemerataan, salah satunya melalui sentralisasi. "Tapi kalau guru ditarik ke pusat, kebutuhan-kebutuhan daerah secara lokal ini tidak bisa dipenuhi juga," ujarnya.
James menjelaskan, Papua memiliki guru-guru khusus yang diperuntukkan mengajar di daerah-daerah terpencil, dengan spesialisasi khusus dan tujuan khusus pula, sesuai kebutuhan lokal tiap daerah.
Adapun Yohannes Mau, mengatakan, perlu dilakukan diskusi yang mendalam mengenai rencana penarikan guru yang menjadi kewenangan pusat. "Karena kami akan berhadapan dengan berbagai persoalan," katanya. Salah satunya adalah anggaran. Mutasi guru akan menyebabkan terjadinya perubahan anggaran.
Selain itu juga, teknis di lapangan juga harus dipertimbangkan. "Misalnya, bagaimana guru pindah. Kalau antarprovinsi no problem, tapi bagaimana pindah guru dari satu kabupaten yang berdekatan. Ini perlu dibicarakan mekanisme terbaik, sehingga pada saat pelaksanaan tidak berbenturan dengan persoalan di lapangan," tutur Yohannes.
Ia menuturkan, di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), kekurangan guru justru menjadi persoalan utama. Karena itu dibutuhkan diskusi bersama untuk menemukan solusi yang tepat dalam memenuhi kebutuhan guru. "Karena persoalannya sangat kasuistis di beberapa daerah tertentu sehingga perlu didiskusikan lebih matang, perlu dikaji".
Hal senada juga dikatakan Bambang Irianto. Di Yogyakarta pun belum tercapai pemerataan distribusi guru. Ada beberapa kabupaten yang kurang guru, namun di beberapa kabupaten lain berlebihan. "Sehingga kalau dikelola pusat atau minimal provinsi, lebih mudah untuk mengatur itu," katanya.
Namun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak semudah itu mengubah kebijakan dari desentralisasi menjadi sentralisasi. Semua membutuhkan proses dan kajian yang lebih mendalam. Untuk sementara, salah satu solusi yang sudah dilakukan adalah penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) lima menteri yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokras, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Agama.
SKB tersebut mengatur tentang distribusi guru. Jika terdapat kelebihan atau kekurangan guru di tingkat provinsi, maka gubernur punya kewenangan untuk mendistribusikan guru antarkabupaten.
0 comments:
Post a Comment