Sertifikasi Guru Dalam Jabatan

Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi guru bertujuan untuk: (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional, (2) meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, (3) meningkatkan kesejahteraan guru, serta (4) meningkatkan martabat guru; dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.

Pelaksanaan Sertifikasi Guru merupakan salah satu implementasi dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Agar sertifikasi guru dapat direalisasikan dengan baik perlu pemahaman bersama antara berbagai unsur yang terlibat, baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena itu, perlu ada koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan sertifikasi guru agar pesan Undang-Undang tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan.
Salah satu bagian penting dalam sertifikasi guru adalah rekrutmen dan penetapan calon pesertanya. Untuk itu diperlukan sebuah pedoman yang dapat menjadi acuan bagi dinas pendidikan provinsi, dinas pendidikan kabupaten/kota, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), kepala sekolah, guru, guru yang diangkat dalam jabatan pengawas, dan unsur lain yang terkait dalam sertifikasi guru dalam jabatan tahun 2010.
PEDOMAN SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN TAHUN 2010
  • Buku 1 berisi Pedoman Penetapan Peserta
  • Buku 2 berisi Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sertifikasi Guru
  • Buku 3 berisi Pedoman Penyusunan Portofolio
  • Buku 4 berisi Rambu-Rambu Pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG)
  • Suplemen Buku 3 tahun 2010 (Ped. PF Pengawas) berisi Pedoman Penyusunan Portofolio (Khusus Guru yang Diangkat Dalam Jabatan Pengawas Satuan Pendidikan)
Pedoman Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun 2010 selengkapnya dapat diunduh/download di sini


Sertifikasi sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan tunjangan guru/dosen. Bila dikembalikan pada filosofi asalnya, sertifikasi adalah proses pengakuan seseorang untuk melakukan profesi tertentu. Di dalamnya ada standart kualifikasi tertentu yang harus dipenuhi. Contohnya, untuk jadi pengacara ia harus lulus sertifikasi pengacara. Untuk jadi akuntan ia harus lulus sertifikasi akuntan. Untuk jadi dokter ia harus lulus sertifikasi dokter, dan seterusnya. Bagaimana bila tidak memenuhi? Bila tidak, yang bersangkutan berarti tidak layak, tidak diakui, dan tidak boleh melakukan suatu profesi tersebut. Jadi sertifikasi layaknya SIM bagi seorang pengendara motor. Substansinya ada pada “boleh” atau “tidak boleh” melakukan suatu profesi.

Bagaimana dengan sertifikasi guru/dosen? Inilah persoalannya. Pemerintah ternyata mengkaitkan sertifikasi guru/dosen dengan tunjangan. Sertifikasi yang semestinya hanya dikaitkan dengan masalah “boleh atau tidak boleh melakukan sesuatu profesi” telah dikatikan dengan “boleh atau tidak mendapatkan tunjangan”. Padahal sertifikasi dan tunjangan adalah dua hal yang berbeda sama sekali. Semestinya, ada atau tidak ada tunjangan sesiapa yang ingin jadi guru atau dosen harus bersertifikasi. Bagi yang belum berarti tak boleh jadi guru, dan bagi yang telah terlanjur menjadi guru/dosen namun belum tersertifikasi, ia harus berusaha memenuhinya.

Mengkaitkan sertifikasi dan tunjangan bagaimanapun akhirnya telah melencengkan tujuan mulia sertfikasi. Walaupun tersemat tujuan yang mulia, namun harus diakui sisi “tunjangan” jauh lebih menarik perhatian. Sertifikasi pada akhirnya bukan lagi identik pemenuhan akan standar kualifikasi tertentu, namun telah identik dengan duit.

Tak heran karena bias seperti ini, terjadilah banyak penyimpangan di lapangan. Apa yang diungkap FX Trias Hadi P ( Opini Kompas, 26 Juni 2011) berupa jadwal fiktif, penggelembungan jam mengajar, tugas tambahan palsu adalah secuil butki betapa telah melencengnya sertifikasi dari tujuan mulianya. Hal itu bukti pula ketak tepatan sasaran, serta pemborosan anggaran pendidikan. Ini berarti secara tidak sadar sertifikasi justru telah menyuburkan budaya korup di Indonesia.

Bagaimana dengan tunjangan? Tunjangan selayaknya lebih dikaitkan dengan kinerja bukan sertifikasi. Tunjangan diberikan ketika pelaku profesi memperlihatkan kinerja dan prestasi yang baik. Ini jauh lebih memberikan rasa keadilan serta mengikis kemungkinan penyimpangan di lapangan. Atau bila pemerintah memang memiliki dana dan ingin memberikan tunjangan, berikan saja tunjangan sebagai renumerasi guru atau dosen tanpa dikaitkan dengan apapun seperti halnya yang terjadi pada pegawai di bawah kementrian lain.

Berkaca dari kondisi ini perlulah kiranya pemerintah mengkaji ulang sertifikasi guru/dosen agar dikembalikan pada filosofi asalnya tanpa perlu mengaitkannya dengan tunjangan. Mengkaitkanya dengan tunjangan justru akan mengaburkan tujuan aslinya, serta memicu berbagai penyelewengan. Selain itu menimbulkan masalah pula: bila suatu saat nanti ketika pemerintah tak bisa lagi menyediakan anggaran tunjangan, masih mau/semangatkah guru/dosen untuk disertifikasi?

Memaknai dasar dan tujuan sertifikasi, maka dalam pelaksanaannya baik para guru peserta sertifikasi, panitia pelaksana maupun instansi yang terkait dengan aktivitas sertifikasi jangan memanfaatkan sertifikasi hanya untuk memperoleh tambahan tunjangan dan pendapatan semata, tetapi semua pihak harus memiliki komitmen dan menunjukkan akuntabilitas kinerjanya yang didasari nilai moral yang tinggi.

0 comments:

Post a Comment

 
About | Privacy | Disclaimer
© Copyright web.edikomputer.com™ 2011 - All rights reserved.

Design by : edikomputer template editchil v.1.0